>

Saat Barcelona Kalah Beruntun

Saat Barcelona Kalah Beruntun

Sepanjang 2011, Barcelona mengumpulkan sembilan trofi. Sementara selama 2012, Los Azulgranas hanya menuai lima kekalahan. Tapi memasuki 2013 yang baru menginjak bulan ketiga, Carles Puyol dkk. sudah mengantongi empat kekalahan.

Apakah berarti Barcelona memasuki masa krisis? Belum tentu, meski tiga kekalahan dalam empat pertandingan terakhir di tiga ajang berbeda tak bisa dianggap biasa. Apalagi ini terjadi pada klub yang kerap disebut \"berasal dari planet lain\".

Dalam empat pertandingan terakhir, Barca kebobolan delapan gol dan seluruhnya dari dalam kotak penalti. Terlihat sekali, setidaknya dalam empat partai itu, ada masalah di pertahanan Barca. Sistem pertahanan yang dianut Barca tidak berjalan sempurna. Ada rantai yang hilang di area full backs. Bukan salah pemain, tapi pada sistem yang tidak berfungsi normal.

Secara umum, permainan Barca masih seperti biasanya. Mereka mempertahankan filosofi menekan, menguasai permainan, dan mengumpan serta memasang garis pertahanan tinggi yang menjadi tren permainan sepak bola di 2012 ala kolomnis The Guardian, Jonathan Wilson. 

Berdasarkan data Opta, sewaktu melawan Milan (21/2/2013), Barca mencatat 93 persen umpan sukses (completed pass) dan 72 persen dominasi permainan. Saat menghadapi Madrid pada Sabtu (2/3/2013), Squawka mencatat umpan sukses Barca 90 persen dengan penguasaan permainan 63 persen.

Tapi ada perubahan dalam permainan Barca. Sistem tiki-taka mengalami komodifikasi seiring pergantian sosok pelatih. Aliran umpan segitiga (triangular passing) memudar. Jarak antar pemain tidak lagi dekat, jarak antar lini pun menganga. Itu sebabnya saat melawan Milan, Barca kehilangan bola 143 kali dan hanya mampu merebut kembali 47 kali. Sedangkan urusan penghadangan, Madrid lebih banyak; 19 berbanding 10. Padahal selama ini Barca dikenal ahli memotong aliran bola lawan.

Tak bisa dipungkiri bahwa pergantian pelatih dari Tito Villanova ke tangan Jordi Roura menjadi salah satu penyebab berubahnya irama permainan Barca. Meski berasal dari satu payung yang sama, prinsip dan gaya kepelatihan antara Tito dengan Jordi sudah pasti berbeda. Tito mengimprovisasi gaya tiki-taka ala Pep Guardiola menjadi lebih langsung (direct). Sementara Jordi meneruskan mengadaptasi gaya Tito, namun meninggalkan permainan cantik dan nafas zona yang selama ini digunakan Barca.

Jordi tidak sepenuhnya salah. Dia hanya belum memiliki jam terbang yang cukup dan selama ini hanya bertugas sebagai penggali data permainan lawan saat membantu Tito. Waktunya menangani tim terhebat dunia memang tidak pas. Adaptasi yang harus dijalani begitu singkat dan langsung menjalani dua laga El Clasico beruntun dalam ajang berbeda.

Barcelona diisi pemain-pemain hebat dengan filosofi bermain yang indah. Tetapi mereka tetap butuh racikan strategi dan taktik yang mumpuni untuk membungkam lawan. Tim juga perlu suntikan pembakar semangat. Di situlah peran pelatih dibutuhkan. Tentu saja pelatih dengan kapabilitas bagus. Inilah yang tampaknya dilupakan oleh manajemen Barcelona. Bisa jadi mereka terlena dengan perjalanan tim yang nyaris tanpa gangguan berarti sejak 2010/2011.

Mereka terlambat mengantisipasi bakal panjangnya masa istirahat Tito yang harus menjalani terapi kanker.  Alih-alih merekrut pelatih yang mumpuni, Barca justru memberi beban besar kepada Jordi yang belum cukup modal. Tengah pekan ini, Presiden Sandro Rosell dikabarkan baru akan membahas situasi terbaru ini.

Beruntung, rentetan hasil buruk ini bukan kiamat bagi tim kebanggan Catalan tersebut meski harus segera diatasi. Barcelona masih punya modal bagus di La Liga dengan keunggulan 11 poin di puncak klasemen sementara. Mereka juga masih bisa berjuang habis-habisan melawan Milan di Liga Champions pekan depan setelah tersingkir dari ajang Piala Raja.

Inilah waktu bagi Barca untuk membuktikan diri bahwa turbulensi ini hanya sesaat. Mereka harus membuktikan goncangan ini tidak akan meruntuhkan predikat mereka sebagai klub terbaik saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: